Selasa, 26 September 2017

Uniknya Lumpia Basah Bogor, Pakai Isian Bengkuang

BOGOR, KOMPAS.com - Kuliner berbalut kulit dari tepung, berisikan rebung atau bambu muda dengan cincangan daging udang kerap ditemui di Kota Semarang. Di Bogor pun juga terdapat kuliner lumpia, namun isi hingga penyajiannya berbeda.
Kuliner yang satu ini mulai dijual sekitar tahun 1970-an di kawasan pecinan Semarang. Salah satu pelopornya ialah nenek dari Ernes, seorang pedagang Lumpia Bogor yang sudah generasi ketiga sejak 1972.
Menurutnya kuliner Lumpia Bogor walaupun berbeda dengan Semarang, tetapi sama-sama dipengaruhi keberadaan kaum Tionghoa di masing-masing tempat. Tak heran, perkembangan kuliner ini berasal dari daerah pecinannya.
Perkembangan kuliner tersebut meluas, hingga kini Lumpia Bogor tersebar di mana-mana, terutama kawasan kuliner hingga sekolah, dan perkantoran. Namun, yang tertua dan masih eksis ialah Lumpia Basah Bogor Surya Kencana milik keluarga Ernes ini.
“Saat ini Lumpia Ini yang tertua, pelanggannya dari mulai nenek kakek sampe cucunya,” ujar Ernes pada KompasTravel saat mencoba lumpianya, Selasa (24/5/2016).
Berbeda dengan Lumpia Semarang yang berisikan rebung, telur dan cacahan udang, Lumpia Basah Bogor menggunakan cacahan bengkuang, tauge, tahu, ebi giling juga telur. (KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia)
Ia pun masih memegang resep dan cara masak tradisional warisan neneknya, dengan memasak diatas arang, juga tidak menggunakan penyedap melainkan racikan bumbu tradisional lain.
Berbeda dengan Lumpia Semarang yang berisikan rebung, telur dan cacahan udang, Lumpia Basah Bogor menggunakan cacahan bengkuang, tauge, tahu, ebi giling juga telur. Lumpia pun tidak digulung dan digoreng, melainkan disajikan di atas adonan kulit, oleh karena itu namanya lumpia basah.
Advertisment
“Lumpia Basah Bogor, khasnya pakai bengkuang tua dirajang, sama tahu kuning. Bengkuang tetap dibumbui kecap, dan pake ebi giling, bukan cacahan udang,” ujar Ernes.
Seluruh bahan isi tersebut kecuali tauge dimasukan kedalam kuali yang berbahan bakar arang, diberi bumbu bawang dan rempah, tak lupa gula dan garam. Setelah disanggrai dan megeluarkan wangi ebi yang khas, baru tauge dimasukan agar tetap renyah.
Kulit lumpia pun disiapkan  di atas daun pisang, kemudian adonan diletakan diatasnya. Lumpia tersebut tidak digulung, melainkan dilipat hingga seperti bantal. Pembeli pun menikmatinya dengan merobek kulit lumpia hingga isinya menyeruak keluar.
Sejak tahun 1980an akhir gerobak hijaunya menetap sejak pukul 09.00 – 18.00, di depan Ngo Hiang Jalan Surya kencana no 307. (KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia)
Aroma ebi atau udang kecil yang khas pun tercium ketika kulit dirobek. KompasTravel segera menyendok isi yang masih diselimuti kulit lumpia tersebut. Tekstur renyah dari bengkuang, dan tauge sangat terasa, tapi yang sangat berkesan ialah paduan ebi dan bumbu-bumbu lainnya, sungguh menggoyang lidah.
Ernes mengaku, selain resep dan proses tradisional yang masih ia jaga, salah satu keunggulannya ialah kulit lumpia yang dibuat oleh keluarganya sendiri. Kulit tersebut tidak sama dengan yang tersedia di pasar, karena menggunakan adonan telur dan mentega.
“Dari zaman nenek kulit lumpia bikin sendiri, karena kalau beli selain tipis juga tidak gurih karena tdk memakai mentega dan telur,” ujarnya.
Dalam satu hari ia bisa melayani hingga 300 sampai 400 porsi, dengan harga satu porsi Rp 12.000. Tak jarang ibu-ibu banyak yang membeli hanya kulitnya saja untuk membuat aneka makanan di rumah. Sejak tahun 1980-an akhir gerobak hijaunya menetap sejak pukul 09.00 – 18.00, di depan Ngo Hiang Jalan Surya kencana no 307.
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar