Harganya tidak seberapa, hanya Rp. 5.000.- saja per-gelas Es Cingcau Kelapa Muda yang banyak dijajakan di salah satu titik di Jalan Pajajaran Bogor selepas Mesjid Raya Bogor.
Tidak mahal.
Bukan jajanan yang akan diburu para penggemar kuliner dan rasanya juga tidak akan menjadi hot topik yang akan menjadi santapan para blogger kuliner atau wisata. Meskipun pada gerobaknya tertulis kata “tradisional Bogor”, tetapi rasanya jajanan seperti ini banyak juga ditemukan di kota-kota lain.
Sederhana. Dalam isi gelas (atau plastik kalau dibawa pulang) isinya hanya cingacau hijau ditambah dengan gula cair dan potongan daging kelapa muda. Itu saja.
Rasanya pun tidak berbeda dengan es-es lainnya, ada manis, ada gurih dan ada dingin.
Tetapi, tahukah kalau hal ini dibicarakan bisa menjadi sebuah diskusi dan bahkan perdebatan yang panjang lebar? Kalau tidak percaya, cobalah saja masukkan foto dalam artikel ini ke salah satu komunitas Bogor di dunia maya. Pastilah tanggapannya akan beragam.
Mengapa berdagang es cingcau kelapa muda bisa menjadi topik diskusi yang panjang?
Urusan Perut dan Urusan Ketertiban
Bogor memang kota wisata. Banyak warganya yang mengandalkan kehidupannya dengan menjual “apapun” yang bisa ditawarkan kepada para pengunjung.
Alhamdulillahnya, jumlah wisatawan yang datang ke kota ini pun sangat banyak, melebihi 4 juta orang pertahunnya.
Sesuatu yang sangat menguntungkan dari segi perputaran ekonomi.
Sayangnya. Ada terselip kata “sayangnya” dalam hal ini.
Lahan kota Bogor sangat terbatas sehingga tidak banyak tempat yang tersedia untuk semua orang. Harganya pun terus meroket sehingga terkadang tidak bisa terjangkau oleh kalangan pedagang kecil, seperti pedagang kaki lima.
Hasilnya, banyak dari mereka yang terpaksa “menggunakan ” lahan yang tidak seharusnya dipergunakan untuk berdagang, seperti jalan raya, trotoar, dan tempat-tempat lainnya. Hampir setiap sudut kota Bogor sulit bebas dari yang namanya pedagang kaki lima.
Nah, pedagang es cingcau kelapa muda ini sendiri menggunakan badan jalan Pajajaran untuk berdagang. Bukan di trotoar tetapi benar-benar di badan jalan. Pembelinya pun harus berhenti di jalan serta makan atau minum di jalan.
Bagus? Secara ekonomi, bagus untuk sang penjual karena jalan Pajajaran merupakan salah satu jalan yang ramai dan peluang mendapatkan pembeli sangat besar. Mereka yang haus akan bisa segera menepi dengan cepat dan menghilangkan rasa hausnya. Klop sudah.
Tetapi, tahukah Anda bahwa banyak warga Bogor yang mulai merasa gerah dengan kehadiran para pedagang kaki lima yang biasanya tidak mau mematuhi aturan? Mereka memandang bahwa hal-hal seperti ini sangat berpotensi meningkatkan ketidakteraturan di kota yang sudah sangat padat ini.
Jadi, yang mana yang harus didahulukan “urusan perut vs urusan ketertiban”? Ada dapur warga Bogor yang harus tetap ngebul dan perut yang harus diisi, tetapi disitu ada juga pelanggaran aturan ketertiban yang jelas sekali.
Lalu yang mana yang harus didahulukan?
Daya Tarik Wisata vs Kemacetan
Walau sederhana dan hanya Rp. 5000 saja, para pedagang es cingcau kelapa muda ini merupakan salah satu daya tarik para pengunjung Bogor (dan bahkan warga Bogor sendiri). Sama dengan banyak pedagang kuliner tradisional lainnya yang berdagang di jalan atau trotoar, mereka merupakan sesuatu yang memberikan sensasi unik bagi mereka yang melancong ke kota ini.
Buktinya, meski harus makan atau minum beralaskan seadanya, banyak motor dan mobil berhenti untuk sekedar merasakan segelas cingcau yang licin dan dinginnya serutan es batu.
Bagus bukan? Setiap wisatawan akan menyebarkan salah satu sisi “unik” dari berwisata di Bogor. Berarti akan semakin banyak orang yang datang.
Bagus, tetapi tetap ada jeleknya.
Hal itu bisa berarti semakin banyak kendaraan yang akan berhenti dalam waktu yang lebih lama dari seharusnya. Tidak mungkin hanya satu menit karena untuk menyiapkan segelas es cingcau kelapa muda saja butuh 1 menit. Paling tdaik 5 menit.
Bayangkan saja dalam situasi yang ramai ada belasan atau puluhan kendaraan yang “terpaksa” parkir di jalan ini? Kemacetan yang sudah menjadi rutinitas akan bertambah dengan kegiatan kuliner di tempat yang tidak semestinya ini.
Belum lagi mobil atau motor yang berhenti mendadak karena penumpangnya ingin mencicipi sedikit keunikan dan daya tarik jajan di pinggir jalan.
Padahal kemacetan di Bogor sudah terkenal parahnya. Pada saat sepi, bukanlah sebuah masalah besar, tetapi pada saat jam-jam padat lalu lintas, bisakah terbayang situasinya.
Mana yang harus didahulukan “menarik pelancong datang vs menghilangkan penyebab kemacetan”?
Perdebatan panjang bisa diprediksi terjadi jika hal ini dibicarakan baik di Facebook atau bahkan di warung kopi.
Bisa panjang karena masing-masing akan memiliki argumennya sendiri. Yang mengatakan bisa menerima tidak sedikit, yang dengan geram mengatakan bahwa hal ini harus ditertibkan tidak kalah banyaknya.
Semuanya akan memiliki alasan yang sangat masuk akal.
Sebagai sesama manusia, tentunya kita ingin semua orang sejahtera dan bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Pedagang es cingcau kelapa muda ini tentunya membutuhkan pendapatan untuk menunjang kehidupan mereka. Di sisi lain, warga Bogor juga sudah mulai gerah dengan begitu banyaknya ketidaktertiban di kotanya. Banyak dari mereka pun yang ingin Bogor bersih dan kemacetan berkurang sehingga hidup pun terasa lebih nyaman.
Masuk akal kan?
Jadi, bagaimana menurut Anda? Mana yang harus didahulukan?
Kalau saya yang ditanya demikian, saya sudah menemukan jawaban yang akan saya sampaikan kepada Anda.
Jawabannya, saya akan ambil kamera, memotretnya, dan kemudian membuat tulisannya. Seperti tulisan ini.
Ada banyak hal di dunia ini yang terkadang berada di luar jangkauan kita, tidak sesuai dengan apa yang kita mau dan nilai-nilai ideal yang ada di kepala kita.
Ada banyak hal dimana kita hanya perlu menjalani , atau melihat, atau menikmatinya saja.
Bogor sedang berubah menjadi sebuah kota “metropolitan mini” dan tentunya banyak permasalahan di dalamnya. Pemda Kota Bogor pun bisa dipastikan tahu mengenai masalah ini dan mereka pun rasanya sedang pusing mencari pemecahannya.
Tidak mudah kawan, sama sekali tidak mudah.
Oleh karena itu, saya lebih suka menjadi pemotretnya saja dan bukan pengambil keputusan dalam hal ini.
sumber
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar